Sesak di dada tak kunjung hilang. Terasa panas dingin menjalar ke segala bagian. Mendengar kabar yang tak ingin didengar, membuat kepala berdetak tak karuan, —serta jantung berdenyut seakan berputaran.—Tuhan, apa ini hukumanmu kepada hamba?
Decitan hati yang kukira menyatu, —padahal tidak, hanya bayangan semu—kamuflase hati yang meyakinkanku untuk memilih, kini sia-sia terbakar api cemburu. Kenyataan terkadang pahit memang. Seandainya dulu yang kulihat nyata, mungkin tak terasa sakit seperti ini.
Bodohnya aku yang buta pada rasa yang ditorehkan gelap pada siang.
Bodohnya aku yang berharap pada lebah yang baru saja bisa terbang.
Seandainya sanggup untuk kutorehkan kepadamu, Mah ... Sakitnya sungguh sesesak ini. Lain kali, aku tak ingin merasakannya lagi. Cukup sudah sayatan di hati, berbekas hingga aku nanti. Maaf atas lancangnya aku, karena kini aku hilang selera, Mah ... Tapi, hanya senyuman yang sanggup kuperlihatkan. Terlalu kurang ajar rasanya bila harus menyakiti hatimu dengan kenyataan yang aku buat. Kututup rapat hingga tenggelamlah sudah ke dasar laut. Agar kau tak tahu, seperti apa aku yang baru, Mah.
Menghilang sudah wajahku kini, luntur bersama air mata malam yang hanya dilihat oleh bayanganku di cermin kamar.
Ekspektasi gugur bersamanya. Orang yang selama dua tahun ini kukira sama, ternyata tidak sama sekali. Ingin kupecahkan saja kepala ini, agar sesak tak lagi terasa bila ingat ucapnya yang sungguh tak kukira. Tapi, akhirnya kenyataan terungkap ke permukaan. Pengakuan itu datang juga! Menghitamlah sudah tubuh ini, pahit menahan perih yang tak bertepi.
Kini kutahu akhir dari puisi.
Kucukupkan hingga di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar