16 Maret 2016

#EnamSepuluh bagian 4 - Mata tuli, telinga terpejam.

Untuk edisi #EnamSepuluh bagian 4


Aku masih kerap bertanya, untuk bisa bahagia, apa selalu butuh seseorang untuk membahagiakan? Jika kujalani hidup ini sendiri, apa masih ada kebahagian yang didapat?

###

Kesepian selalu asyik untuk aku jamah. Uluran tangannya terasa menari, memberikan kenyamanan dalam lamunan sendu bak embun di pagi hari. Sebenarnya, aku kehilangan arah tentang pagi dan malam. Aku tak tahu jalan tentang rumah dan juga tujuan. Bahkan, aku sudah kehabisan kata untuk memperjelas setiap maksud dari langkah kaki ini. Aku hanya ... Ingin terlelap dalam dekapan mama. Dekapan yang hampir berbelas tahun tak kurasa, semakin hari semakin tak nyata.

Mama, bila di suatu tempat yang nyaman kauterlelap, ingatlah aku yang selalu ingin memelukmu. Meski ego selalu melumuri hati hingga kuku kaki, selalu kusertakan doa agar kau senantiasa bersama kedamaian hati dan juga pikiran. Aku hanya ... Ingin berkata cinta kepadamu. Tapi kelu, selalu membeku pada lidahku. Sungguh sulit untuk mengatakan apa yang ada dalam pikiranku, Ma ....

Maafkan aku yang pergi melepas gundah tanpa permisi. Kepalaku seakan pecah karena sebuah nama yang terus membayang pada setiap tembok yang aku sandari. Jika boleh jujur, aku takut. Aku sangat takut untuk memandang matahari, Ma ... Selalu ada ketidak percayaan diri yang meletup hingga ragaku jatuh. Aku hanya ... Kehilangan arah. Tentang tujuan matahari, hingga langkah kakiku di setiap hari. 

Ini tepat bulan ketiga aku pergi. Tak satu pun kerabat dan kawan yang mencari. Tak ada yang sadar mengapa aku pergi. Luka yang melukis topeng di wajahku, terlalu apik hingga menipu siapa pun yang melihat. Hingga semakin hari, aku semakin nyaman dengan keadaan ini. Keadaan saat aku hanya ditemani dedaunan kering, atau ranting yang berdenting. Aku sangat bersyukur, bahwa aku bisa merawat diriku sendiri yang semakin hari kian kuat untuk melawan segala penyakit yang ada.

Jika kau sempat bertanya tentang cinta kepadaku, aku tak bisa banyak bercerita, Ma ... Karena aku sedang tak ingin berurusan dengan cinta. Dia yang pergi, memang penyebab terbesar dari lunturnya perasaan sukaku terhadap siapa pun. Luka yang dia buat terlalu sempurna. Meski dia sempat datang lagi, tapi aku paham bahwa dia hanya datang untuk menepi, bukan untuk menetap. Jadi, saat dia pergi kembali, aku sangat siap untuk menerimanya. Kutebalkan rasa ikhlas dalam diri ini, agar luka yang ada bisa mengering.

Kau tahu, Ma? ini sudah bulan keempat semenjak dia sempat hadir, lalu pergi lagi. Aku hampir terbiasa, Mah ... Meski rindu kerap hadir melumuri malam hariku, meski mimpi bertemu dengannya masih tersimpan apik untuk dijamah, aku tetap berusaha untuk nyaman dengan keadaan ini. Entah kapan itu terwujud, tapi sangatlah cukup menyenangkan saat dia menelusup hadir di sela mimpi tidurku. 

Ma, aku belum mau pulang. Aku tak siap melihat wajah letihmu yang kian menua, meminta kebahagiaan dari anak-anakmu yang tak jua. Entah kapan aku bisa melakukan satu hal dengan benar, agar rasa bangga siap hadir dalam hari-harimu. Aku masih berjuang, menggapai bintang untuk dibawa pulang. 

Tunggu aku, Ma. Hidupku pasti indah! Lebih indah dari mimpi dalam tidurku. Agar aku lebih rajin lagi untuk membuka mata, lalu segera berlari menggapai bintang.

Sudahlah Ma, aku harus melupakan bagian ini. Meski mimpi untuk mengunjungi hidupnya masih ada, aku tak begitu berharap agar terwujud.

Ada satu kunci yang aku temukan saat aku berjalan pada malam dengan rintikan hujan. Ternyata, aku bisa bahagia meski aku sendiri. Tak ada alasan apa pun untuk seseorang tidak bisa bahagia. Saat tak satu pun yang ada untuk membahagiakan kita, masih ada kita yang bisa membuat diri ini bahagia. Dan aku, berhasil membuat bahagia menjadi teman sejati sepi. Meski terkadang, tetes air mata masih setia terselip pada malam-malam larutku ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar