29 September 2015

#EnamSepuluh bagian 2 - Pada waktu malam

Untuk edisi #enamsepuluh bagian 2



Belum pernah terpikirkan–lagi–untuk bisa menjadi kelelawar yang hidup saat gelap, dan mati saat fajar tiba. Untuk menahan rasa kantuk saja, aku tak bisa. Aku patuh dan menggengam teguh sebuah aturan bahwa: sebagai pelajar yang baik, pukul 7 malam harus belajar, dan nanti pukul 10 malam harus sudah terlelap.

Aku sempat membenci malam. Karena saat dulu, pengalaman pahit tentang malam pernah aku alami. Di kala yang lain tenang dalam mimpi indahnya, aku harus dihadapkan pada situasi di mana mimpi buruk yang nyata selalu hadir di waktu malam–mimpi buruk itu tentang hal yang tak bisa semua orang lihat.

Aku sangat ingin mengubur semua hal tentang mimpi buruk tersebut. Namun ternyata, tak pernah bisa. Seberapa keras pun kucoba untuk melupakan hal itu, semakin banyak orang yang mengingatkanku tentang hal tersebut.  

Kala itu, sangat mustahil mendapatkan tidur nyenyak tanpa gangguan dari macam-macam hal. Hampir setiap malam mataku terjaga mengawasi mereka yang tak bisa dilihat oleh banyak orang. Secepat darah yang mengalir di tubuhku, muncul pula rasa takut yang teramat takut mengiringi. Setelah menempuh banyak jalan yang memerlukan banyak tenaga dan pengorbanan, akhirnya lambat-laun aku pun terbiasa dan mulai mendapati jatah tidur normal layaknya pelajar patuh terhadap aturan. Hingga lupalah aku bagaimana rasanya terjaga pada malam –pagi buta– hari. Dan aku pun bersyukur tak harus datang ke sekolah dengan wajah lesu dan rasa kantuk lagi, dan tak lagi mendapatkan julukan Aries si horor.

Namun tiba-tiba, kau datang menyapa malamku seakan memaksa untuk tetap terjaga. Aku yang kala itu tengah berusaha setengah mati untuk tidak tertidur karena sebuah keharusan dalam mengerjakan tugas pun, merasa mendapati tenaga baru untuk tak cepat terlelap. Di hari itu pun, aku merasa seperti berada di atas ranjang yang terbuat dari bulu angsa yang halus, ditemani seseorang yang sangat menarik perhatianku. Meski nyaman, namun enggan untuk menutup mata walau sejenak.

Semenjak hari itu, aku pun mencandu  sebuah kenyamanan darimu. Meski harus setengah mati menahan mata yang memberat, meski berkali-kali sempat terkantuk tak sadar, meski harus terus menatap layar ponsel untuk menunggu balasan darimu, itu tetap aku lakukan. Kita saling bercengkrama hingga fajar menampakan wajahnya. Satu hari hingga 1 bulan, kita jalani malam bersama. Percakapan tanpa henti pun kita lakukan. Berbagai hal telah kita bicarakan. Membuat kita semakin saling mengenal satu sama lain, dan membuatku serasa memilikimu.–meski tak secara langsung, sih....

Tapi, malam ini sungguh berbeda. Ini sudah bulan ke 6 sejak menghilangnya kamu dari hidupku. Aku yang sudah terbiasa dan bersahabat lagi dengan sang malam pun, merasa sangat kesepian. Canda itu telah hilang. Kebersamaan kita telah musnah. Percakapan malam telah terbang bersama angin hingga lenyap. Dan aku, tetap terjaga sembari mengenang semua memori tentangmu.

Aku ingin tahu. Sebenarnya, kamu di sana seperti apa? Baru aku sadari sekarang, bahwa aku belum benar-benar mengenalmu secara utuh. Dinginnya malam baru menyadariku tentang banyaknya pertanyaan yang belum aku lontarkan untukmu. Dulu, aku terlalu mabuk. Dengan antusiasnya, aku menceritakan semua tentangku agar tak hilang topik di antara kita. Ini sangat tak sebanding. Karena kamu, tak banyak berbicara tentang hidupmu. Dan membuatku menyimpan banyak penasaran yang besar saat ini. Hingga tak jarang, kau hadir dalam mimpiku dengan sebuah jawaban yang sangat ingin aku ketahui, namun berbanding terbalik dengan yang aku kira.

Tapi, apa kamu memikirkanku pada setiap malammu seperti aku memikirkanmu? Apa kamu pernah atau selalu menyebut namaku saat kau merindu, seperti aku merindumu?

Apa kamu baik-baik saja sekarang? Apa ada kawan yang senantiasa membantu dan menemanimu di sana? Apa mereka selalu mengingatkan dan menegurmu tentang baik dan benar?

Ini hampir setengah tahun, kujalani hidup yang monoton tanpa dirimu. Waktu memang berjalan pesat kini. Tapi ingatanku terhadap dirimu, tak mau hilang dengan cepat.

Malam menjadi teman setiaku....
Tidur bukan lagi prioritasku....
Menikmati mimpi dalam lelap, bukan lagi keinginanku....

Tak ada lagi pukul 3 pagi yang hangat bersama dirimu. Aku lupa seperti apa suaramu. Karena aku, hanya 2x mendengarnya.... Dan kini, aku sangat-sangat ingin mendengar suaramu hingga mungkin aku terlelap dan bisa memelukmu dalam kenyataan.

Kamu seperti hantu. Nyata, namun tak terlihat. Tapi aku rela dihantui olehmu hingga waktu lama seperti sekarang ini.


-Aries-

28 September 2015

#Enamsepuluh bagian 1 - Sudah berapa lama?

Untuk edisi #EnamSepuluh Bagian 1



Langkahnya kini terseok. Tanpa meninggalkan jejak yang berarti seperti dahulu, dia lebih banyak diam memperhatikan sesuatu yang tak nyata....

Namanya kini redup, dan bahkan hampir punah. Tak seperti dulu lagi saat di mana orang-orang selalu mencarinya kapan pun dengan berbagai bujuk rayu.

Rasa kehilangan yang ia rasakan sangatlah dalam. Tapi bukan hanya itu yang membuatnya berubah menjadi membosankan dan hidup bagaikan mayat. Lebih sakit lagi karena rasa kecewa. Dia mengalami rasa kecewa pada level tertinggi dengan penuh pengorbanan nyata. Menimbulkan luka yang tertimbun dalam, bersama dengan nama seseorang yang setia melekat. 

Haruskah dia membenci? Dia ingin. Tapi hatinya tak pernah mengizinkannya untuk membuang luka dan menggali hati untuk menghapus nama yang tertimbun di sana.

Sebut dia.... Aries.

#####

Tatapan tanpa semangat terpantul di cermin kamar. Sudah kali ke berapa dalam seminggu ini aku bercermin? Rasanya tak sering. Aku takut untuk melihat penampilanku kini yang sudah pasti tak karuan. Kuucapkan maaf untuk tubuhku beserta segala organ dan sel yang sudah susah payah bekerja untuk menjaga tubuhku, namun kuacuhkan karena kondisi perasaan yang meradang.

Kamar yang semula selalu rapih, kini berdebu dengan segala barang yang tersebar di sana-sini. Sebenarnya, Aku sadar jika semangatku telah pergi. Kukutuk diriku sendiri karena melakukan hal yang disadari tak berguna, namun tetap dilakukan. Hampir setiap malam kurenungi apa yang telah terjadi, dan apa yang sudah kulewati dengannya yang membuatku terpuruk jatuh dengan kepala menempel di tanah.

Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar. Dan selama satu tahun pula, kamu berhasil merubah hidupku menjadi diam di tempat. Sebenarnya, sudah dari awal aku tahu jika mengenalmu hanya akan memberikan luka yang panjang, diselingi kebahagiaan yang semu. Aku hanya mabuk akan wajah dan pesonamu. Fokusku teralihkan jika sudah terlibat percakapan bisu dengamu. Dalam sekejap saja, dirimu berubah menjadi sosok yang wajib ada di dalam pikiranku. Kuacuhkan segala yang nyata, kutinggalkan semua yang ada, dan kupilih terjun ke dalam dunia yang maya, bersama dirimu yang tak kuketahui jelas seperti apa.

Feeling-ku sudah memperingati jika mengenalmu, hanya akan merusak segala mimpi dan kondisi di dalam hidupku. Tapi... Aku baru merasakan yang seperti ini. Dan aku, sangat penasaran seperti apa akhirnya kelak. Jika buruk dan menyedihkan, aku yakin itu bukan akhir. Karena bahagia, barulah yang namanya akhir.

Tapi ternyat benar...Mengenalmu hanya membuat luka, dan merusak segala mimpi dan kondisi dalam hidupku. Aku terlalu mabuk. Hingga kapal yang aku tumpangi untuk terjun ke dunia baru yang maya, terasa berguncang dan membuat halusinasi yang membahagiakan. 3 bulan pertama kita bersama, hanyalah kejadian palsu yang membuat kebahagiaan semu untukku. Kala itu, terlalu banyak waktu luang untuk kita tetap berkomunikasi, dan saling membuat drama dan bercerita kisah yang entah mana yang bisa dikatakan benar. Semua terasa indah dan lengkap. Membuat rasa ketergantungan perlahan hadir dan membengkak minta ditemani setiap saat. Baru aku sadari kini. Ternyata, aku hanya dijadikan pelampiasan saat sepi menerpa tubuhmu. Aku hanya tempat pelabuhan ke dua, atau mungkin ke tiga saat orang tersayang pergi dan mengacuhkanmu. Dan aku, hanya dijadikan tempat peluapan emosi dan ajang balas dendam atas perlakuannya kepadamu. 

Katakan aku salah dan buatlah alasan logis atas apa yang sebenarnya terjadi. Bisakah? Ah, aku sudah tau jika ini benar. Jadi, aku tak mengharapkan pembelaanmu lagi. Karena saat setiap masalah yang membuat pertengkaran di antara kita datang, kau tak pernah memberikan pembelaan.  Meski aku tahu itu semua, aku tetap sedia bermain peran demi memuaskanmu....–Jangan sebut aku Aries jika aku hanya memikirkan perasaanku saja. Aku Aries, dan aku rela bodoh untuk terus memikirkan perasaan dan kebahagiaan orang-orang di sekitarku.

Kau tahu? Sebenarnya tak ada kata sibuk yang benar-benar sibuk dalam hidup ini. Semua kembali lagi tentang apa yang kita prioritaskan. Dan setelahnya, kita akan menyibukan diri dengan hal pilihan kita, dan membuat sibuk menjadi sebuah alasan saat kita menjauhi sesuatu hal karenanya. Dan aku, memang bukan salah satu prioritasmu. Karena saat kemalangan dan segala rasa sakit menimpaku, kau membiarkanku merangkak sendiri mencari semangat hidup yang sebenarnya hingga saat ini pun belum aku temui. Aku tahu, sudah ada dunia baru yang lebih nyata menemanimu setiap hari disertai berbagai watak manusia barunya. Dan begitulah dirimu. Mudah sekali meninggalkan dunia kita, dan berpindah ke tempat baru dalam waktu yang singkat. Tapi... apa pantas aku sebut "kita" ?.

Bulan ke limalah kau pergi menghilang tanpa kabar. Jutaan cara kulakukan untuk mencari keberadaanmu. Dan setelah kutemui caranya, kau bertingkah seakan kau baru terbangun dari tidur di pagi hari yang cerah, bagai tak ada hal buruk yang pernah terjadi. Berkali-kali kau menghilang, berjuta-juta kali kulakukan segala cara untuk mencarimu dan membuatmu kembali. 

Hingga akhirnya aku pun lelah... 

Kubiarkan kau pergi, dan kutahan diriku untuk tidak melakukan segala cara untuk membuatmu kembali. Ini sangat sulit... Sulit sekali. Aku tak pernah bisa terbiasa tanpa dirimu. Aku sulit terbiasa untuk menerima perlakuanmu. Bahkan, Hingga saat ini pun masih terasa sulit. Terlalu banyak air mata yang kubuang untukmu. Terlalu banyak pengorbanan berupa tenaga, fisik, jam tidur, pikiran, uang, bahkan mimpi-mimpiku agar terbiasa tanpa dirimu. Rasa kecewaku sudah semakin memuncak. Tapi tetap saja tak membuatku berhenti untuk tidak menghilangkan semua rasaku kepadamu. Namamu terlanjur tertanam dalam dan mengalir bersama darah di tubuhku. Dan aku, sulit untuk tidak memikirkanmu. Meski pada waktu ini aku sudah ikhlas dan membiarkanmu pergi pun, namamu masih menjadi nama wajib yang aku sebut. Wajahmu masih saja membayang di pikiranku, dan terus menjadi hantu di setiap mimpi di tidurku. Kadang indah, kadang sebaliknya....

Mungkin ini akan terasa mudah jika aku punya teman. 
Teman untuk menopang, dan menjadi tempat berkeluh kesahku dengan berbagai cerita tentang dirimu. Tapi apa? Siapa yang aku punya? Siapa yang bisa kujadikan tempat untuk bercerita? Kupendam ini semua sendiri. Karena kini, aku memang benar-benar sendiri. Hanya terbaring di sebuah kamar pada rumah yang sangat kecil, tanpa melakukan hal-hal yang bermanfaat untukku atau orang lain.

Feeling-ku sudah malas untuk memberikan peringatan atau gambaran. Dan kini, aku benar-benar kehilangan arah. Tak ada semangat dan tujuan yang benar-benar ingin aku dapatkan. Dan aku, benar-benar mengutuk diriku yang terlalu berani mengumbar segala rasa, kisah, dan kejadian pada sebuah tulisan. Aku terlalu berdrama kini. Kuakui jika kini, aku memang sedang mencari perhatian orang-orang, karena sudah lama sekali aku ingin merasakan diperhatikan lagi.  Tapi ternyata, aku hanyalah pengecut yang kalah perang, dan bersembunyi pada tempat yang sudah banyak orang ketahui keberadaannya seperti apa, mulai saat ini.


Aku baik-baik saja. Meski aku berbohong pada diriku sendiri....

Tapi, aku berharap kau benar-benar baik sekarang. Berikan jejak sekali-kali, ya, agar aku tahu jika kamu memang baik-baik saja sekarang–meskipun kau menghilang entah ke mana.

Satu lagi, semoga kebahagian selalu bersamamu, ya. Tak ada habisnya aku berdoa untukmu, dan semua hal tentang dirimu. Meski ini terdengar klise, tapi semoga Tuhan mengabulkannya.

Kau bukan hanya sebuah nama untukku....

-Aries-