Untuk edisi #AriesItuNamaku bagian 4 (tamat)
Hai!
baca dulu yuk bagian 3nya di sini:)
-------
"Aku jawab mau kak aahhhhhh seneng banget deh
sumpah, gabisa nafas aku heufff." Dengab gembira, seolah tidak punya salah
apa-apa, dia berkata seperti itu dengan senyum yang mengembang.
"Wah
selamat ya, longlast terus ya," kupasang senyum kepalsuan di depan dia.
Masih
mengandeng tanganku, kini dia memeluk tanganku sambil berkata “Terimakasih kak!
Kakak orang pertama yang tau ini loh! Kakak kan uda aku anggap kaya Kakaku
sendiri hihi." Jadi, aku hanya dianggap sebagai kakak? tiba-tiba aku
tersentak, bukan main sakit yang aku rasa. Aku mematung menahan sakit hati yang cukup dalam ini.
“Kak ... kak Aries! Kok ngelamun sih? Jadikan main ke rumah aku?” aku tersadar.
Dengan
terbata, aku menjawab “Emm ... Aa-aku gabisa m, maaf ya! Soalnya aku lupa kalau sekarang aku
harus pulang cepat, ada acara keluarga," alasanku.
Bisa aku lihat dengan
jelas raut kekecewaan di wajah Suci. Tiba-tiba dia berkata “Tau gini, aku pulang
sama Kak Ditya aja! Yauda aku duluan! mending pulang sendiri aja. bye!” dengan
kasar dia pergi meninggalkan aku.
Bukan
main. Perkataannya tadi, sukses membuat emosiku memuncak. Aku memang anak yang
sangat emosional, dan kini, rasanya mataku memanas. Aku yakin, sebentar lagi
akan ada air mata menetes. Tapi, masa iya harus menangis? Di parkiran pula?
Dengan cepat kulangkahkan kaki menuju Motorku. Dan aku pacu cepat motorku
dengan harapan agar bisa cepat sampa di rumah ... Di kamarku lebih tepatnya.
Fokusku
hilang, kini emosiku memuncak bak gunung yang akan meletus. Helm yang aku
kenakan terasa lembab dan basah. Dengan cepat motor ini melaju, menetes pula
air mata yang deras dari mataku. Aku semakin kehilangan fokus saat di jalan, yang
aku pikirkan hanya Suci ... tega sekali dia berkata seperti tadi! keselamatan pun
tak aku pikirkan lagi. dan tiba-tiba ... dari kanan-kiriku, melaju beberapa motor yang tak
kalah cepatnya! Motor itu banyak sekali. Mungkin, sekitar 10 motor melebihi
kecepatanku tadi. Saat aku sadar, aku berada di sebuah jalanan perumahan sepi
yang dikenal seram, dengan keberadaan sekumpulang geng motor.
Entah
kapan aku memacu motorku kejalanan seperti ini. Tiba-tiba saja aku merasa ngeri aku saat memikirkan para geng motor itu. Mengingat, mereka tidak segan
memukuli remaja yang lewat kemari. Karena, mereka berpikir remaja yang melewati
jalanan ini adalah mata-mata dari kubu musuh.
Aku
tersadar lagi, 10 motor dengan pemuda yang mengendarainya, sudah berbaris
menyamping di depan sana, seolah akan menahanku untuk lewat. Terpaksa saat
sampai di sana, aku hentikan laju motorku. Dengan gemetar, aku matikan mesin
motorku.
"Wah
wah wah ... rupanya ada penyusup masuk ke sini bro!” sentak salah satu dari mereka
yang mengenakan kaca mata hitam. Mungkin dia ketuanya.
“Enaknya kita apain ya?”
kini posisi mereka sudah mengelilingiku.
“Buka helm lo!” perintah salah satu
dari mereka yang memiliki badan paling kecil.
Dengan
sigap, kubuka helm full face yang akukenakan. Tanganku kini makin gemetaran.
Aku beranikan untuk membuka mulut dan bertanya “a..a. ada a..ap..aa
in..iii?”. “Ada apa ada apa, bacot lo!” salah satu dari mereka yang aku kira
adalah ketuanya, melayangkan tinjuan keras kedaerah perutku. Sontak itu
membuatku mengaduh kencang dan terjatuh lemas merasakan sakit yang bukan main.
Kini
aku hanya bisa pasrah, semua yang ada disitu kompak memukuliku. Aku bukan
seorang mata-mata dalam hatiku. Tapi kenapa mereka tega memukuliku? Tiba-tiba,
sekilas aku lihat, ada seorang dari mereka yang membawa sebuah benda tajam
seperti pisau. Dan setelah itu, tak ada yang bisa aku ingat lagi tentang
kejadian demi kejadian.
Tapi
kini, aku bisa melihat badanku terkapar lemah dijalanan tepat disamping motorku
yang kini posisinya sudah terjatuh. Luka memar ada dimana-mana dan darah
mengenang diperut,mulut dan mengotori seragam yang aku kenakan, juga mengenang
dijalanan. Mungkin aku sudah mati, karna aku kini seperti berada diluar
jasadku.
Aku
masih bisa merasakan sakit hati yang tempo tadi aku rasakan. Namun, kini rasa
sakit itu bukan timbul dari hatiku saja. Melainkan, pelipis,bibir dan juga
perutku sakit, tak ada habisnya. Dalam ketidak tahuan ini, masih saja aku
memikirkan Suci dan kini, Keluargakupun ikut melintas difikiran ini.
Lama
aku terdiam menatap badanku yang terkapar dijalanan, lama juga aku menunggu
bala bantuan datang. Namun, tak seorangpun melewati jalanan ini. Jalanan ini
sangatlah sepi. Aku ingin menangis ... tapi, air mata kini tak dapat menetes
kembali ...
Tamat.